Senin, 29 September 2008

Perlukan Indonesia sebuah Undang-Undang Pendidikan yang Mengatur Mengenai Badan Hukumnya?

YAYASAN PENDIDIKAN VERSUS BADAN HUKUM PENDIDIKAN
Vera Wenny Soemarwi

Konsep Pemerintah tentang management berbasis sekolah/madrasah dan otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal yang terlalu dipaksakan diatur dalam draft Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) khususnya rancangan tertanggal 7 November 2007 masih sangat lemah. Mengapa saya katakan konsep pemerintah itu lemah? Karena RUU BHP ini yang mengatur tentang management berbasis sekolah dan otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal bila diimplementasikan akan bertentangan dengan UUD 1945 dan UU lainnya khususnya UU tentang Yayasan. Bahkan yang lebih parah lagi RUU BHP ini telah menyimpang dari dasar hukum pembentukannya yaitu UU tentang Sisdiknas.

Apakah draft RUU BHP tertanggal 7 November 2007 sudah sesuai dengan amanat UU No. 20 tahun 2003?
Pertama, draft RUU BHP ini tidak membedakan antara penyelenggara dan satuan pendidikan formal. Maka di dalam RUU BHP ini baik penyelenggara maupun satuan pendidikan formal diwajibkan untuk membentuk BHP. Sedangkan dalam Pasal 53 UU No. 20/2003 salah satu atau keduanya dapat membentuk BHP. Bisa penyelenggaranya saja yang membentuk BHP atau satuan pendidikannya saja yang membentuk BHP atau keduanya baik penyelenggaranya maupun satuan pendidikannya bersama-sama dapat membentuk BHP. UU No. 20/2003 memberikan keleluasaan kepada salah satunya baik penyelenggara atau satuan pendidikan untuk membentuk BHP.

Kedua, UU No. 20/2003 mengatakan bahwa pendiri satuan pendidikan yang diwajibkan untuk membentuk BHP adalah Pemerintah atau masyarakat. Salah satu dari pendiri satuan pendidikan yaitu Pemerintah atau masyarakat yang diwajibkan untuk membentuk BHP. UU itu tidak mewajibkan keduanya untuk membentuk BHP. UU itu lebih mewajibkan kepada Pemerintah untuk membentuk BHP sedangkan masyarakat mempunyai pilihan apakah akan membentuk BHP atau tidak.
Tinjauan yuridis RUU BHP ini mengatakan bahwa penyelenggara pendidikan adalah Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dan seluruhnya dianggap sebagai pendiri BHP yang diwajibkan oleh RUU ini untuk mendirikan BHPP (Badan Hukum Pendidikan Pemerintah), BHPD (Badan Hukum Pemerintah Daerah), dan BHPM (Badan Hukum Pendidikan Masyarakat).

Ketiga, yang dimaksud dengan Pemerintah (dengan penulisan huruf P dengan huruf besar) menurut UU No. 20/2003 pasal 1 nomor 28 jo UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 nomor 1 adalah Pemerintah Pusat (Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sesuai dengan UUD 1945). Satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah wajib untuk membentuk BHP. Sedangkan UU No. 20/2003 pasal 53 tidak mewajibkan pemerintah daerah untuk membentuk BHP. Dengan demikian mengapa draft RUU BHP versi 7 November 2007 mewajibkan pemerintah daerah untuk membentuk BHP? Rumusan draft RUU BHP ini yang mewajibkan pemerintah daerah dan masyarakat untuk membentuk BHP jelas bertentangan dengan dasar hukum pembentuk RUU BHP ini yaitu UU No. 20/2003.
Pendapat ini dipertegas dengan PP No. 25/2000 (tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom) pasal 2 ayat (3) untuk bidang pendidikan dan kebudayaan, Pemerintah (Pusat) mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengembangkan khususnya untuk pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh dan sekolah international. Maka untuk pendidikan tinggi yang didirikan oleh Pemerintah diwajibkan untuk membentuk BHP sedangkan masyarakat yang mempunyai satuan pendidikan tinggi dapat membentuk BHP bila Pemerintah menentukan demikian. Pemerintah sebagai pendiri pendidikan tinggi lebih mempunyai kewajiban yang mutlak untuk membentuk BHP sedangkan pendidikan tinggi yang didirikan oleh masyarakat tidak diwajibkan untuk membentuk BHP. Dasar pemikiran tersebut berdasar pada UU No. 20/2003 jo PP No. 25/2000 yang tidak secara tegas mengatur mengenai kewajiban masyarakat untuk mendirikan BHP untuk pendidikan tinggi.


Keempat, bila dilihat pada tanggungjawab dan wewenang pengelolaan pendidikan maka untuk mengkoordinasikan penyelenggaraan pendidikan dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah merupakan tanggungjawab pemerintah daerah provinsi [UU No. 20/20003 Pasal 50 ayat (4)].
Sedangkan pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab untuk mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal [UUNo. 20/2003 Pasal 50 ayat (5)].
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka pendidikan dasar dan menengah jelas tidak wajib untuk membentuk BHP karena tanggungjawab dan wewenang pengelolaannya ada pada pemerintah daerah. Hal ini dipertegas dengan pemerintah daerah sebagai pendiri pendidikan formal tidak diwajibkannya oleh UU Sisdiknas untuk membentuk BHP. Dengan kata lain pendidikan dasar dan menengah baik yang didirikan oleh pemerintah daerah maupun oleh masyarakat tidak diwajibkan untuk mendirikan BHP. Badan hukum seperti yayasan, perkumpulan, dan nazhir yang melakukan kegiatan usaha di bidang pendidikan diperbolehkan untuk tetap melakukan kegiatan usaha pendidikan tanpa harus mengubah dirinya dan menyesuaikan tata kelolanya dengan BHP.

Apa prinsip nirlaba itu? Dan bagaimana pembiayaan BHP serta tanggungjawab Pemerintah bila dikaitkan dengan Pasal 31 UUD 1945?

Prinsip kegiatan usaha nirlaba adalah kegiatan yang bersifat tidak mengutamakan pemerolehan keuntungan.
Pasal 4 RUU BHP ini mengatakan bahwa BHP mengelola dana secara mandiri, dengan prinsip nirlaba, meskipun tujuan utamanya bukan mencari sisa lebih, tetapi apabila ada sisa lebih hasil usaha dari kegiatan BHP maka sisa tersebut ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan mutu layanan pendidikan. Tetapi prinsip nirlaba ini bertentangan dengan pasal 30 RUU BHP ini yang mengatakan apabila BHP mempunyai sisa lebih dilarang dialihkan kepemilikannya secara langsung atau tidak langsung kecuali ditetapkan dalam anggaran dasar. Pengecualian pengalihan sisa lebih dan pengaturan apabila ada sisa lebih dari hasil kegiatan BHP ini dapat digunakan untuk kepentingan BHP. Pengecualian itu jelas bertentangan dengan prinsip nirlaba. Pertentangan prinsip nirlaba pada RUU BHP ini dapat dilihat secara jelas dalam penjelasan pasal 32 ayat (4) dengan memberikan wewenang kepada BHP untuk menggalang dana baik dengan mendayagunakan potensi internal BHP (misalnya penelitian, pemberian jasa oleh laboratorium, pendidikan berkelanjutan) maupun dengan mendirikan atau ikut serta dalam badan usaha yang tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan. Sehingga prinsip nirlaba pada BHP ini hanya sekedar slogan saja.
Yayasan pendidikan juga menerapkan prinsip nirlaba. Yayasan pendidikan dalam menjalankan kegiatan yayasan dan untuk mendukung segala kegiatan yang dijalankan oleh yayasan, maka yayasan dapat dapat memisahkan kekayaannya sebesar 25% untuk membentuk suatu badan usaha. Sedangkan seluruh kekayaan yayasan tidak boleh dialihkan kepada siapapun tanpa pengecualian dan hal itu dipertegas dalam anggaran dasar yayasan. Dengan demikian mengapa yayasan pendidikan tidak diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan meskipun di dalam anggaran dasar yayasan pendidikan dan UU Yayasan mengatur secara tegas tentang prinsip nirlaba dalam menjalankan usahanya?

Bagaimana penerapan RUU BHP ini terhadap pemenuhan hak peserta didik yang diberikan oleh Negara melalui Pemerintah? Apakah RUU BHP ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945?

Pasal 35 RUU BHP ini mengatur peserta didik yang boleh menerima beasiswa atau bantuan biaya pendidikan adalah calon dan/atau peserta didik yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau memiliki potensi akademik tinggi, harus dialokasikan oleh BHP 10% sampai dengan 20% dari jumlah seluruh peserta didik. Dalam pembatasan pemberian bantuan dana pendidikan tersebut Pemerintah menerapkan prinsip keberpihakan kepada mereka yang tersisih (preferential option for the poor). Masyarakat yang berhak mendapatkan dana pendidikan melalui BHPM yang menyelenggarakan program wajib belajar pendidikan dasar saja sedangkan yang tidak menyelenggarakan program tersebut tidak mendapatkan bantuan dana pendidikan. RUU BHP ini telah menerapkan perlakuan yang berbeda antara BHPP, BHPD dengan BHPM. Perlakuan yang berbeda yang dilegalkan oleh RUU BHP ini akan memperkuat tirani kekuasaan Pemerintah.
Penerapan prinsip ini oleh Pemerintah jelas telah melanggar prinsip non-discriminative. Apakah benar jumlah seluruh peserta didik wajib belajar di Indonesia hanya mencapai 10% sampai 20% dari jumlah seluruh peserta didik di Indonesia? Sedangkan konstitusi kita telah melindungi setiap warga Negara untuk mendapatkan pendidikan, mengikuti pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayainya.
RUU BHP ini telah mengalihkan tanggungjawab pendanaan pendidikan formal dari tanggungjawab Negara untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Tanggungjawab pendanaan pendidikan formal adalah tanggungjawab mutlak Pemerintah dan pemerintah daerah sedangkan masyarakat mempunyai hak untuk menerima manfaat dana sebesar 20% dari APBN di bidang pendidikan.
Dengan demikian RUU BHP ini tidak menjamin pemenuhan hak peserta didik untuk bebas dari perlakuan yang tidak memihak dan tidak adil.

Dengan pengesahan status badan hukum pendidikan (bhp) melalui RUU BHP ini, kemudian bagaimana perlakuan Pemerintah terhadap badan hukum lainnya yang menjalankan usaha di bidang pendidikan seperti yayasan, perkumpulan, nazhir dan sejenisnya?

Perlakuan yang berbeda dari Pemerintah baik terhadap masyarakat (peserta didik) maupun terhadap badan hukum yang didirikan oleh masyarakat yaitu yayasan, perkumpulan, dan nazhir jelas tampak dalam setiap rumusan RUU BHP ini. Upaya Pemerintah untuk merumuskan badan hukum pendidikan kedalam RUU BHP ini telah membuktikan bahwa tindakan Pemerintah itu telah mengesampingkan aspek legalitas Yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan. UU Yayasan jelas melindungi setiap yayasan yang melakukan kegiatan usaha dari badan usaha yayasan di bidang pendidikan. UU Yayasan ini belum dicabut atau belum di revisi. Kekuatan yuridis yang diberikan oleh UU Yayasan untuk memberikan perlindungan hukum kepada setiap yayasan yang telah didirikan berdasarkan UU No. 16/2001 jo UU No. 28/2004 untuk melakukan kegiatan usaha di bidang pendidikan tetap dijamin oleh negara. Sehingga RUU BHP ini tidak mempunyai wewenang untuk mengurangi atau mengeliminasi bahkan melarang yayasan untuk melakukan kegiatan usahanya khususnya dibidang pendidikan.

Beberapa catatan dibawah ini yang perlu diperhatikan bahwa pengaturan dalam RUU BHP ini yang telah memposisikan badan hukum pendidikan ini lebih tinggi bahkan lebih berkuasa dari yayasan di bidang pendidikan yang sah dan diakui oleh negara.

Pertama, badan hukum yang didirikan untuk menyelenggarakan pendidikan formal (yayasan, perkumpulan, nazhir, serta badan hukum yang sejenis lainnya) setelah (R)UU ini berlaku, berbentuk BHPP, BHPPD, dan BHPM [pasal 5 ayat (5), penjelasan pasal 5, pasal 9, pasal 53 ayat (1)].

Kedua, tata kelola yayasan, perkumpulan, dan nazhir, wajib menyesuaikan dengan tata kelola BHP dan tata kelola tersebut wajib dicantumkan dalam anggaran dasarnya. Organ dan fungsi pokok dalam BHP jelas berbeda dengan organ dan fungsi pokok yayasan pendidikan. Prinsip-prinsip pengelolaan yayasan pendidikan sama dengan prinsip BHP yang transparan, akuntabel, otonom, penjaminan mutu layanan pendidikan, layanan pendidikan yang prima kepada peserta didik, keberagaman, dan keberlanjutan dalam layanan pendidikan. Kalau prinsip pengelolaan dan tugas serta tanggungjawab dari masing-masing organ di BHP itu sama dengan yayasan pendidikan, mengapa yayasan pendidikan harus merubah dirinya menjadi BHP?

Ketiga, pengesahan ulang terhadap seluruh badan hukum yang menjalankan usaha di bidang pendidikan memposisikan RUU BHP sebagai super-legitimasi terhadap UU Yayasan. Persyaratan pengesahan ulang dengan cara yayasan pendidikan diwajibkan untuk merubah tata kelola serta perubahan badan hukum yang melindungi kegiatan usaha di bidang pendidikan untuk mendapatkan pengakuan dan perizinan dari instansi terkait (Depdiknas).

Keempat, pengalihan kekayaan yayasan kepada BHP merupakan tindakan penyimpangan dari UU Yayasan. Kekayaan yayasan tidak boleh dialihkan kepada pihak lain kecuali yayasan yang sejenis atau kepada Negara.

Kelima, pembubaran yayasan. Perubahan status dari yayasan pendidikan kepada BHP bila ditinjau antara UU Yayasan dengan RUU BHP jelas bertentangan. UU Yayasan mengatur mengenai yayasan dapat dibubarkan karena jangka waktu berdirinya telah berakhir, atau tujuan yayasan didirikan tidak tercapai, atau dengan putusan Pengadilan karena alasan yayasan telah melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, tidak mampu membayar utang yayasan dan harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk melunasi utannya. Tidak bisa yayasan pendidikan merubah dirinya menjadi Badan Hukum Pendidikan hanya karena UU Sisdiknas mengatur demikian.

Setiap rumusan dalam RUU BHP ini dan diperkuat dengan UU No. 20/2003 pasal 72 yang menghendaki seluruh badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usahanya dibidang pendidikan yang belum berbadan hukum pendidkan maka dengan berlakunya RUU BHP diwajibkan untuk menyesuaikan diri menjadi BHP.

Ketentuan tersebut jelas telah melanggar hak setiap warganya yang memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum, mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, hak diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Di tinjau dari hak konstitusi peserta didik, hak yayasan pendidikan, hak perkumpulan dan nazhir jelas Pemerintah melalui RUU BHP ini telah merampas hak-hak tersebut. Tindakan pemerintah dalam mengupayakan tindakan-tindakan menghapuskan Hak Hidup yayasan pendidikan, perkumpulan, nazhir dan badan usaha serta badan hukum lainnya yang bergerak dalam bidang pendidikan merupakan tindakan inkonstitusional.

Kekawatiran kami sistem pendidikan di Indonesia akan kacau dengan diberlakukannya RUU BHP ini. Kekacauan ini diperkuat dengan sistem management berbasis sekolah/madrasah dan otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal yang belum jelas dan belum dipersiapkan sistem yang mendukung management tersebut serta kondisi sosio-politik di Indonesia yang belum siap untuk menghadapi sistem demokrasi terbuka.


Jakarta, 21 November 2007

Tidak ada komentar: